Sabtu, 28
Maret 2015, Pure Saturday menggelar konser bertajuk “Open Wide: Special Show Pure Saturday and
Friends” di City Light Convention Center (CLCC), Paris Van Java
Mall, Bandung. Konser terbaru mereka selepas Juni 2013 silam. Yang berbeda dari
konser mereka kali ini adalah tanpa adanya kehadiran si kembar – Yudhistira
“Udhi” Ardinugraha dan Adhitya “Adhi” Ardinugraha – pada posisi drum dan gitar
yang telah bersama dengan band ini hampir sekitar dua dekade. Akhir Januari
2015, si kembar memutuskan untuk keluar dari Pure Saturday dengan alasan ingin
mendalami agama Islam. Keputusan mendadak itu cukup mengejutkan personil Pure
Saturday lainnya – Satria “Iyo” Nurbambang (vokal), Ade “Muir” Purnama (bass),
dan Arief Hamdani (gitar). Tak hanya mengejutkan para personil, keputusan itu
pun banyak mengejutkan para Pure People (kelompok penggemar Pure Saturday). Di
dunia maya, respons dan spekulasi mengenai nasib Pure Saturday bermunculan:
bubar atau terus berjalan. Segala spekulasi itu akhirnya menemukan titik terang
ketika manajemen Pure Saturday menggelar konferensi pers pada pertengahan
Februari lalu. Keputusan telah diambil bahwa Pure Saturday akan terus berjalan
dengan tiga personil tersisa. Mereka juga akan segera merilis single terbaru,
kembali rekaman album baru, dan menggelar konser tunggal.
Dua bulan
sebelum konser tunggal ini mulai, saya berbicara dengan Udhi perihal keluarnya
dia dari band dan keputusannya untuk mendalami agama Islam. Sepanjang obrolan
Udhi menegaskan bahwa keputusannya tepat untuk keluar dari band karena sudah
mengalami ketidaknyamanan dalam bermain musik bersama Pure Saturday. Keputusan
personal itu sudah tidak bisa diganggu gugat. Seharusnya dia dan Adhi juga
masih punya “hutang” tampil satu kali lagi bersama Pure Saturday di sebuah
Pentas Seni SMAN 11 Makassar awal Februari lalu. Tapi perbedaan visi akhirnya
membuat Pure Saturday tetap tampil dengan personil sisa plus personil tambahan
(additional player) tanpa
mengikutsertakan si kembar. Sebuah pertunjukan di Makassar itulah untuk
pertamakalinya Pure Saturday tampil tanpa si kembar di atas panggung – setelah
20 tahun bersama. Keputusan bulat pun akhirnya telah diambil oleh Pure
Saturday: “time for a change, time to move
on”.
Konser Open Wide: Special Show Pure Saturday and
Friends merupakan langkah pembuktian bahwa Pure Saturday tetap move on dan masih eksis. Sesuai
tajuknya, Pure Saturday menggandeng kawan-kawan sesama musisi dari berbagai
lintas aliran musik untuk berkolaborasi mulai dari musisi pop, punk, hingga
hip-hop. Pure Saturday memiliki posisi yang terhormat di komunitas musik
independen di Bandung – bahkan Indonesia. Tulisan ini ingin menyoroti bagaimana
Pure Saturday berhasil membangun modal sosialnya dan menjadi salah satu band
yang dihormati sampai saat ini.
Pure Saturday dan Komunitas
Pertengahan
1990-an, Pure Saturday “hanyalah” lima remaja tanggung yang memainkan musik
indie-pop – pada masa itu lebih lazim disebut musik indies. Bertempat di Gudang
Cokelat, sebuah gudang bekas milik Suar Nasution (mantan vokalis Pure
Saturday), mereka selalu nongkrong dan latihan band di tempat itu setiap
harinya. Pada masa itu, posisi komunitas memiliki posisi sentral di Kota
Bandung. Komunitas-komunitas itu biasanya nongkrong di pelataran toko, ruang
publik, atau studio rekaman. Dan lewat komunitas inilah interaksi sosial
terjadi dan menjadi ruang pembelajaran bersama antar individu yang hadir dalam
komunitas tersebut.
Komunitas
musik pada masa itu digolongkan berdasarkan pada satu genre musik tertentu.
Tentu saja hal ini sangat beralasan, karena kesamaan selera bermusik tentu akan
membuat terjadinya suatu kolektif komunitas itu hadir. Tongkrongan-tongkrongan
komunitas disatukan oleh satu kesamaan dalam selera musik meskipun ada juga
faktor-faktor lainnya seperti kesamaan visi hidup, nilai-nilai yang dianut
bersama, atau faktor “temenan”. Perihal tongkrongan dalam komunitas ini
antropolog asal Amerika, Brent Luvaas, dalam bukunya DIY Style (2012)
menuturkan sebagai berikut: “Hanging out
is where ideas are generated, group sensibilities forged, and collective
interpretations developed. And what is being produced most readily through
hanging out is a particular attitude, defining a specific moment in Indonesian”.
Menurut Luvaas (2012), bahwa sebagian besar proses kreatif secara do it yourself (DIY) justru
dilakukan secara kolektif, dalam artian ini komunitas memiliki peranan besar
dalam penciptaan proses kreatif anak muda di Kota Bandung mulai dari menyablon
kaus, membikin distro, menggelar gigs, dan membuat majalah/zine, dan membuat
album rekaman.
Lewat
komunitas-komunitas itu lahirlah kebanyakan band-band lokal independen Bandung.
Saat saya melakukan penelitian dengan mengumpulkan lebih dari 70 kompilasi
musik independen sejak tahun 1996 sampai 2008, kesimpulan yang bisa saya ambil
bahwa terdapat relasi antara komunitas dan pola kreativitas dalam bermusik di
Kota Bandung. Komunitas-komunitas itulah tempat band menimba ilmu dan juga
tempat berekspresi. Nilai-nilai kolektivitas terlahir dalam satu pembelajaran
bersama di komunitas. Band-band dalam suatu komunitas misalnya saling urunan
membuat kompilasi atau membuat gigs regular tempat ajang berkreasi dan unjuk
eksistensi. Atau label rekaman yang hadir dan merilis band-band kawan-kawan
mereka dalam satu komunitas.
Komunitas-komunitas
musik itu tersebar di beberapa daerah di wilayah Kota Bandung. Contohnya saja,
komunitas metal yang biasa nongkrong di Studio Palapa, Ujungberung, yang banyak
melahirkan band-band metal potensial dari kawasan itu seperti Burgerkill,
Forgotten, Jasad, dan masih banyak lagi. Studio Reverse di daerah Sukasenang
juga merupakan salah satu tongkrongan musisi-musisi Bandung seperti Pas Band
dan Puppen. Sedangkan tongkrongan komunitas punk yang terpecah di beberapa
tempat seperti Distro Riotic, Distro Harder, atau belakang pelataran mall
Bandung Indah Plaza (BIP), kemudian komunitas musik grunge yang biasa nongkrong
di sebuah rumah di daerah Purnawarman, hingga komunitas-komunitas musik lainnya
di Rumah Musik Harry Roesli. Bahkan ruang publik seperti Taman Lalu Lintas yang
menjadi tempat penggemar olahraga skateboard pun merupakan tongkrongan yang
lazim digunakan anak muda Kota Bandung saat itu.
Lalu kalau
ternyata komunitas memiliki posisi penting dalam perkembangan suatu band, di “komunitas”
apakah Pure Saturday berada? Hal inilah yang saya pikir menjadi posisi unik
untuk kasus Pure Saturday. Kalau mencermati awal perjalanan karir Pure
Saturday, meski hampir semua personil Pure Saturday yaitu Suar Nasution, Arief
Hamdani, Adhitya Ardinugraha, Ade Hamdani, dan Yudhistira Ardinugraha merupakan
penggemar musik rock dan metal – sebagai musik yang populer pada saat itu –
tapi tak bisa dikatakan mereka merupakan berada dalam satu tongkrongan yang
spesifik atau tergabung dalam satu komunitas musik tertentu. Satu-satunya
tongkrongan mereka pada saat itu hanyalah Gudang Coklat. Saban waktu mereka
berada di sana. Proses kreatif Pure Saturday dilakukan di sana. Selain mereka,
palingan teman-teman dekat yang ikut nongkrong di sana. Salah satunya Lusi
“Uci” Mersiani, bassis dan vokalis Kubik, yang turut andil memperkenalkan
musik-musik indies kepada personil Pure Saturday. Mereka muncul dari festival
musik – bukan dari komunitas – namun dari waktu ke waktu kemudian berhasil
meraih simpati dari komunitas musik lainnya.
Musik indie
pop boleh dikatakan anak bungsu budaya populer yang hadir di Indonesia.
Kehadirannya seiring dengan geliat musik-musik daratan Inggris lewat British
Invasion Part 2 melalui kehadiran band-band pop Inggris semisal Blur, Oasis,
Radiohead, The Stone Roses, Shed Seven, dan masih banyak lagi yang muncul pada
tahun 1990-an. Demamnya mungkin se-zaman dengan musik grunge asal Amerika.
Musik-musik indie-pop memang hadir belakangan setelah anak muda di Kota Bandung
menggandrungi musik rock, metal, atau punk yang lazim disebut “anak
underground”. Sebelum Pure Saturday, komunitas indies belumlah terbentuk.
Dibandingkan dengan musisi-musisi “underground” lainnya, kemunculan Pure
Saturday bak seorang alien yang turun ke bumi. Karena kebanyakan band-band pop
pun lebih banyak makan asam garam di panggung-panggung café. Meski beberapa
kali tampil di café tapi tak bisa dikatakan pula jika Pure Saturday “besar”
dari café ke café seperti band /rif atau Peterpan (kini: Noah). Posisi Pure
Saturday memang benar-benar anomali baik secara warna musik maupun komunitasnya
yang belumlah eksis. Namun, karena beberapa kali menghiasi acara di Saparua
mereka pada saat itu sering di-cap sebagai musisi “underground”.
Pada awal
karirnya, Pure Saturday boleh dikatakan memiliki posisi yang “lemah” karena
mereka tidak memiliki atau berada dalam satu komunitas tersendiri. Namun, pada
satu sisi itu juga yang membuat Pure Saturday bisa kian luwes berinteraksi dan
membangun relasi sosialnya. Karena lenturnya dan masih belumnya jelasnya posisi
Pure Saturday di komunitas pun membuat Pure Saturday lebih lentur dan lebih
fleksibel dalam bergerak mencari wadah komunitasnya. Hal itulah yang menjadi
kunci keberhasilan Pure Saturday dalam membangun modal sosialnya: kelenturan dan
fleksibilitas antar komunitas musik di mana mereka tidak terikat pada satu
komunitas tertentu tapi bisa masuk ke komunitas musik apapun.
Pure
Saturday memiliki relasi kuat dengan Pas Band dan Puppen. Relasi itu bukan
didorong oleh genre musik. Tetapi relasi itu didorong oleh nilai-nilai
kolektivitas yang sama – tentu saja selain faktor pertemanan. Hal itulah yang
mendorong meski ketiga band ini saling berbeda genre musik, tapi memiliki
semangat dan visi yang sama pada masa itu. Misalnya, pada saat Puppen manggung,
Pure Saturday selalu dipromosikan oleh Arian 13 (vokalis Puppen). Nama Pure
Saturday pun kian berkembang. Bahkan relasi dengan Pas Band yang juga senior
mereka dalam bermusik, merupakan salah satu hal yang penting. Rekaman Pure
Saturday album pertama merupakan sisa shift
dari Pas Band.
Pure
Saturday juga sering menjadi penampil pada acara-acara “underground” di
Saparua. Jika manggung di Saparua pun banyak penggemar musik metal dan punk
yang melakukan aksi moshing dan bahkan ikut bernyanyi sepanjang lagu. Hal ini
membuktikan bahwa musik Pure Saturday diterima oleh penggemar musik keras
sekalipun. Berkat “kelenturan” posisi Pure Saturday saat itu mereka dapat
dengan mudah diterima oleh kalangan industri musik major (kapital besar) dan
bahkan dapat dengan mudah diterima kembali di kalangan komunitas independen.
Mengingat friksi band yang masuk ke major label di kalangan musisi independen
begitu keras saat itu seperti yang diterima Superman is Dead, Burgerkill, dan
Rocket Rockers. Tapi Pure Saturday, “berbeda”.
Kemudian
bagaimanakah Pure Saturday dapat mudah dan membangun relasi antar komunitas?
Hubungan yang dibangun Pure Saturday memang “agak berbeda” dibandingkan dengan
band-band pada masanya yang eksis bersama dalam satu komunitas. Relasi sosial
yang membangun karir Pure Saturday dibangun melalui hubungan yang “berbeda”.
Modal sosial yang dibangun oleh Pure Saturday lebih pada ke hubungan
interpersonal dibandingkan dengan interaksi dalam satu komunitas tertentu.
Hubungan antara personil Pure Saturday berupa teman satu sekolah, teman kuliah,
dan hubungan saudara lebih menentukan dan menjadi modal sosial yang dibangun
mereka selama ini. Sehingga pada awal karirnya Pure Saturday tidak “dikotakkan”
dalam satu komunitas musik tertentu. Malah kemudian musik Pure Saturday
mendapat dukungan beragam komunitas musik lainnya termasuk komunitas musik
rock. Hal tersebutlah yang kemudian sangat menentukan perjalanan Pure Saturday
– bahkan hingga sampai saat ini.
Pure Saturday dan Modal Sosial
“… Kawan, kehadiranmu di sini adalah senjataku untuk berlari
kembali/ Kawan aku tak perlu lagi mencari apa yang perlu ku cari/ Kawan, aku
sudah menemukan pahlawan-pahlawan yang seharusnya tertera di tugu itu/ Kawan,
dia di sini adalah pahlawanku…”
Penggalan
puisi di atas diucapkan oleh Satria “Iyo” Nurbambang (vokalis Pure Saturday)
pada konser peluncuran album Grey di Jakarta, pada 2012 lalu. Saya bisa
merasakan bagaimana dukungan komunitas inilah yang menggerakkan Pure Saturday.
Tak hanya komunitas Pure People, bahkan dukungan komunitas lainnya yang
ternyata menjadi modal sosial Pure Saturday bisa eksis sampai saat ini. Salah
satunya adalah “keberhasilan” menggelar konser Open Wide yang
memperlihatkan bagaimana modal sosial yang telah dibangun mereka hampir
sepanjang dua dekade ini. Dalam konser tersebut, Pure Saturday berkolaborasi
hampir dengan 20 musisi dari beragam genre musik. Featuring atau kolaborasi
memang hal yang lumrah dilakukan oleh sebuah band dalam penampilannya. Namun,
konser ini menjadi penanda khusus begitu lekatnya hubungan antarkomunitas ini,
setidaknya dalam konteks hubungannya dengan Pure Saturday.
Memperluas
relasi atau membangun jaringan tentu banyak dikumandangkan para master di
bidang bisnis apapun. Namun, modal sosial yang ada di sini bukan perihal bagaimana
Pure Saturday memperluas jaringannya untuk memperoleh dukungan secara kapital.
Sosiolog asal Perancis, Pierre Bourdieu (1986), menjelaskan pengertian modal
sosial sebagai berikut, “sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh
seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga secara terus-menerus
dalam bentuk perkenalan timbal balik (dengan kata lain, keanggotaan dalam
kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya bentuk dukungan kolektif”.
Hubungan interpersonal yang dibangun oleh Pure Saturday melewati batas genre
apapun dan terhadap komunitas musik apapun. Terutama posisi Iyo dan Ade yang
kerap membangun relasi dengan komunitas musik lainnya yang berbeda genre dengan
Pure Saturday tentu berpengaruh dalam menjaga hubungan relasi ini menjadi kian
solid. Iyo dan Ade termasuk rajin menjalani hubungan dengan musisi lainnya.
Misalnya, Iyo telah menjadi personil grup rock Teenage Death Star dan kini
menjadi manajer grup band hardcore Taring. Kemudian Ade yang juga kerap
menjalani beragam proyek musik dan berkolaborasi dengan beragam musisi lainnya.
Bagaimana aksi mereka tentu memiliki pengaruh dalam hubungan antarkomunitas
musik ini.
Setidaknya
modal sosial ini berdampak sekali pada perjalanan Pure Saturday. Kini, Pure
Saturday bukan hanya milik Iyo, Ade, Arief, Suar, bahkan Udhi dan Adhi
sekalipun, tapi sudah menjadi milik komunitas musik di Bandung – bahkan
Indonesia. Hal ini terlihat ketika konflik demi konflik terjadi, dukungan
komunitas inilah yang menjadi dinamo agar mesin Pure Saturday terus berjalan.
Seperti yang pernah saya saksikan ketika konser Pure Saturday di AACC pada 2005
lalu. Menanggapi respons kembalinya Pure Saturday yang sudah lama vakum,
terlihat bagaimana antusiasme dukungan komunitas akan kembalinya Pure Saturday.
Termasuk pro dan kontra menanggapi keluarnya Suar dan bergabungnya Iyo seperti
menunjukkan perhatian besar terhadap band ini. Hingga yang terbaru ketika
keluarnya Udhi dan Adhi bahkan respons dan perhatian dari komunitas pun
bergulir cukup cepat. Termasuk dukungan dalam gelaran Konser Open Wide ini – Ade mengakui
persiapan kolaborasi ini hanya satu minggu.
Di kancah
musik independen, mau bagaimanapun nama Pure Saturday telah menjadi pusat
perhatian. Ketika mereka digadang sebagai pionir dalam musik independen, itu
lebih semata kepada faktor di mana Pure Saturday memang memainkan sesuatu yang
“berbeda” baik secara warna musik maupun distribusinya. Ketidakhadiran
komunitas indie pop pada saat itu justru membuat Pure Saturday menjadi pionir
musik genre ini. Modal sosial yang dibangun oleh Pure Saturday adalah sebuah
kekuatan sosial yang lahir dari musik sebagai daya tarik utamanya.
Saya pikir,
dengan keluarnya Adhi dan Udhi, tantangan terbesar dari Pure Saturday justru
bukan dalam persoalan eksternal mereka. Tapi justru persoalan internal mereka,
terutama dalam proses kreatifnya. Tak bisa disangsikan lagi jika pengaruh besar
si kembar dalam proses kreatif dan memberikan warna-warna segar dalam aransemen
telah menjadi kunci musik Pure Saturday bahkan sampai sejauh ini. Hal ini tentu
tak bisa diatasi dengan “sekedar” kolaborasi semata. Tentu proses kreatif ini
memerlukan perenungan dan pemikiran mendalam dari para sisa personil untuk
menentukan arah musik Pure Saturday kedepannya.
Oleh: Idhar Resmadi
Referensi
http://gigsplay.com/pure-saturday-komunitas-dan-modal-sosial/